Paguyaman Pantai, Boalemo — Isu kerusakan lingkungan di Kecamatan Paguyaman Pantai kini menjadi sorotan tajam publik. Aktivitas sejumlah perusahaan di wilayah pesisir selatan Kabupaten Boalemo diduga kuat meninggalkan jejak serius terhadap ekosistem setempat. Warga mulai mempertanyakan ke mana janji penghijauan dan pemulihan pasca-eksploitasi yang dulu sempat digaungkan. Kini, slogan “pembangunan hijau” yang pernah menjadi harapan bersama tampak kian pudar di tengah realita lapangan yang memprihatinkan.
Kawasan mangrove yang dahulu menjadi benteng alami pesisir kini sebagian besar telah ditebang. Ironisnya, alasan yang digunakan adalah pembangunan pelabuhan wisata berkelas. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pelabuhan tersebut lebih sering digunakan sebagai tempat bersandar kapal tongkang pengangkut hasil bumi, bukan dermaga ekonomi rakyat. Situasi ini memunculkan tanda tanya besar: siapa yang sebenarnya diuntungkan, dan bagaimana nasib ekosistem pesisir yang selama ini melindungi warga dari ancaman abrasi dan banjir rob?
Investigasi: Menelusuri Jejak Kerusakan di Pesisir
Tim investigasi lapangan menelusuri sejumlah titik di wilayah pesisir Paguyaman Pantai yang dilaporkan mengalami kerusakan. Dari hasil pantauan awal, beberapa area yang dulunya hijau kini berubah menjadi lahan terbuka dengan bekas aktivitas alat berat.
Seorang warga yang enggan disebutkan namanya menuturkan,
“Dulu di sini banyak mangrove, sekarang tinggal lumpur. Katanya mau dibangun pelabuhan mewah, tapi yang lewat malah kapal tongkang.”
Pernyataan tersebut memang masih perlu diverifikasi lebih lanjut, namun cukup menggambarkan keresahan masyarakat yang menyaksikan langsung perubahan lingkungan di sekitar tempat tinggal mereka.
Mangrove yang Hilang, Ekosistem yang Terancam
Mangrove bukan sekadar deretan pohon di tepi pantai. Ia adalah pelindung alami dari abrasi, penyimpan karbon, sekaligus habitat bagi ribuan biota laut kecil yang menopang rantai makanan ekosistem pesisir.
Menurut data Global Mangrove Watch (2024), Indonesia kehilangan sekitar 52.000 hektare mangrove dalam lima tahun terakhir akibat kegiatan industri dan reklamasi. Di Gorontalo, Paguyaman Pantai dulunya dikenal memiliki sabuk mangrove terluas di bagian selatan. Namun kini, berdasarkan catatan komunitas lingkungan lokal, tutupan vegetasi mangrove di wilayah tersebut diduga menurun hingga lebih dari 30% dalam tiga tahun terakhir.
Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu abrasi, menurunkan populasi ikan, dan mengancam mata pencaharian nelayan pesisir.
Galian C: Aktivitas Tanpa Kejelasan Manfaat
Selain isu mangrove, aktivitas Galian C juga menjadi perhatian serius warga. Berdasarkan observasi sementara, ditemukan beberapa titik galian tanpa papan izin resmi. Warga menduga aktivitas tersebut berkaitan dengan pasokan material proyek yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.
“Kalau galian ini untuk pembangunan rakyat, kami pasti dukung. Tapi kalau hanya untuk kepentingan segelintir orang, jelas kami keberatan,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.
Pemerintah di Persimpangan: Diam atau Terlibat?
Dalam struktur pemerintahan daerah, camat berperan penting menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan lingkungan. Namun, sebagian warga menilai ada sikap ambigu dari pejabat kecamatan. Camat disebut-sebut kerap hadir dalam sejumlah agenda perusahaan dan diduga memiliki kedekatan dengan pihak pengusaha.
Meski begitu, belum ada bukti konkret yang memperkuat tudingan tersebut. Sumber internal kantor kecamatan menyebutkan bahwa keterlibatan camat hanya sebatas koordinasi teknis dan komunikasi antar-lembaga. Minimnya transparansi informasi publik diduga menjadi penyebab utama munculnya persepsi negatif di masyarakat.
Pihak Perusahaan: Mengklaim Izin Lengkap, Tapi Belum Ada Penghijauan
Beberapa sumber lapangan menyebutkan, pihak perusahaan mengklaim seluruh kegiatan telah berizin dan siap melakukan program penghijauan bila ditemukan kerusakan lingkungan. Namun hingga kini, belum terlihat langkah nyata ke arah tersebut.
Akibatnya, janji penghijauan yang sebelumnya digaungkan tampak seperti formalitas yang belum menyentuh realisasi di lapangan.
Seruan untuk Keterbukaan dan Dialog Publik
Melihat situasi yang semakin kompleks, berbagai pihak kini menyerukan dialog publik terbuka antara pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat. Tujuannya sederhana: mencari solusi bersama atas masalah lingkungan yang kian mengkhawatirkan.
Karena pada akhirnya, kerusakan alam bukan hanya soal kebijakan atau proyek, tetapi soal keberlangsungan hidup manusia yang bergantung padanya. Alam yang rusak tidak mengenal batas wilayah dan jabatan—dampaknya dirasakan semua pihak tanpa terkecuali.
Penulis: Mais Nurdin, S.Pd
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo (UNG)
Ketua Karang Taruna Kecamatan Paguyaman Pantai






