Boalemo – Isu panas kembali mengguncang dunia legislatif Kabupaten Boalemo. Kali ini bukan sekadar drama politik biasa, melainkan badai yang diselimuti dugaan korupsi perjalanan dinas di tubuh DPRD Boalemo selama rentang tahun 2020 hingga 2022.
Kasus ini mencuat di tengah situasi pandemi Covid-19, ketika seluruh elemen masyarakat diperintahkan untuk membatasi aktivitas, termasuk melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), serta penerapan Work From Home (WFH) dan Work From Office (WFO) secara terbatas. Namun, ironisnya, di saat rakyat dipaksa beradaptasi dengan keterbatasan, sejumlah anggota legislatif justru diduga tetap melakukan perjalanan dinas yang menabrak regulasi nasional.
Padahal, secara tegas pemerintah telah mengatur pembatasan aktivitas ini melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, serta Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan. Aturan ini menekankan agar semua instansi, termasuk legislatif, memprioritaskan keselamatan publik dan membatasi kegiatan tatap muka, termasuk perjalanan luar daerah.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para anggota DPRD Boalemo tetap menjalankan sejumlah perjalanan dinas. Yang lebih mengejutkan, muncul dugaan bahwa sejumlah perjalanan tersebut fiktif atau dimanipulasi. Indikasi kecurangan mulai dari klaim biaya transportasi hingga penginapan menguat dan kini menjadi fokus penyelidikan pihak Kejaksaan Negeri Boalemo.
Sumber internal menyebutkan, proses penyelidikan tengah berlangsung dengan melakukan klarifikasi terhadap sejumlah dokumen dan pihak terkait. Pihak kejaksaan dikabarkan tengah melakukan investigasi mendalam untuk menguji keabsahan setiap kegiatan perjalanan dinas yang dilakukan di tengah status darurat bencana nasional non-alam akibat Covid-19.
Publik pun mulai bersuara lantang. Banyak yang mempertanyakan sensitivitas dan etika para wakil rakyat, yang justru dinilai lebih mementingkan urusan pribadi dan kelompok ketimbang keselamatan publik. Beberapa kalangan juga menyoroti potensi penyalahgunaan anggaran yang seharusnya difokuskan untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi daerah.
Kasus ini bukan hanya soal dugaan pelanggaran administratif, tetapi berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi jika terbukti terdapat unsur kesengajaan dalam manipulasi laporan kegiatan dan pertanggungjawaban anggaran.
Kini, publik menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini secara transparan dan profesional. Kejaksaan diminta untuk tidak tebang pilih dalam mengusut siapa pun yang terlibat, karena skandal ini mencoreng nama baik lembaga legislatif dan kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat mereka.
“Badai Asmara” ini menjadi peringatan serius bahwa integritas dan akuntabilitas di lembaga legislatif harus terus dikawal. Karena di balik gelombang asmara politik, ada kepentingan publik yang harus tetap dijaga.