Oleh: Aulia Izqa Ex Sekretaris Cabang GMNI Kabupaten Gorontalo
Pilkada adalah puncak dari demokrasi lokal. Di sanalah suara rakyat seharusnya menjadi penentu arah masa depan daerah.
Namun, ketika pengawasan lemah dan hukum tumpul, pesta demokrasi berubah menjadi transaksi politik murahan yang hanya menguntungkan segelintir elit. Sayangnya, itulah potret buram yang kembali tersaji dalam Pilkada Bone Bolango 2024 dan PSU Gorontalo Utara 2025.
Dua wilayah ini kini menjadi sorotan publik. Bukan karena keberhasilan penyelenggaraan demokrasi yang bersih dan adil, tetapi karena indikasi kuat politik uang yang terjadi secara terang-terangan.
Yang lebih memprihatinkan, semua itu seolah dibiarkan begitu saja, meski lembaga pengawas seperti Bawaslu digaji dengan anggaran negara yang tidak sedikit. Di sinilah pertanyaan besar muncul: *masihkah Bawaslu menjalankan fungsinya, atau telah berubah menjadi institusi tak bertaring yang hanya menonton dari kejauhan?*
Dua Pilkada, Satu Pola Busuk yang Sama
Mari kita mulai dari Bone Bolango. Pasangan Ismet-Risman berhasil memenangkan Pilkada 2024 dengan catatan yang penuh kontroversi. Di lapangan, publik menyaksikan secara langsung praktik politik uang yang begitu masif menjelang hari H pencoblosan. Laporan demi laporan mencuat, namun tak ada langkah serius dari Bawaslu untuk menyelidiki secara tuntas, apalagi menindak.
Lebih ironis lagi, pasangan tersebut tetap dilantik secara resmi. Ini memberi kesan seolah semua praktik kotor yang terjadi selama proses Pilkada bisa dianggap angin lalu. Lalu untuk apa keberadaan Bawaslu jika pelanggaran yang begitu nyata saja tidak mampu ditindak?
Situasi yang hampir serupa kini terjadi di Gorontalo Utara. Setelah Pilkada 2024 dinyatakan gagal dan harus diulang lewat PSU 2025, publik berharap akan ada perbaikan. Tapi kenyataan berbicara lain. Kemenangan paslon Thorik-Nurjana lagi-lagi dikaitkan dengan praktik politik uang.
Nama Revan Saputra Bangsawan. seorang pengusaha sukses asal Indonesia Timur muncul sebagai figur sentral dalam kemenangan itu, baik di Bone Bolango maupun di Gorontalo Utara.
Video dan story yang beredar di media sosial menunjukkan bagaimana uang disebar secara terbuka oleh tim sukses.
Bahkan, dengan pongah mereka menulis caption seperti “pokoknya tinggal depe sisa”sebuah kalimat yang secara tak langsung menyiratkan adanya sisa dana serangan fajar yang sudah dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Bawaslu: Lembaga Penonton atau Penegak Hukum?
Yang jadi persoalan utama bukan hanya soal siapa yang menang atau siapa yang terlibat. Yang paling penting untuk digugat saat ini adalah fungsi pengawasan pemilu yang dijalankan oleh Bawaslu.
Bagaimana mungkin praktik politik uang yang begitu vulgar bisa lolos dari pengawasan? Di mana hasil investigasi dari laporan-laporan pelanggaran yang sudah disampaikan oleh masyarakat? Mengapa tidak ada proses hukum yang nyata untuk menindak para pelaku?
Harus diakui, Bawaslu baik di tingkat kabupaten, kecamatan (Panwascam), hingga desa (Panwaslu) memiliki struktur, SDM, dan anggaran yang tidak kecil. Gaji mereka berasal dari uang rakyat. Tapi jika dalam pelaksanaan tugasnya mereka hanya menjadi penonton yang pasif, bahkan tampak apatis terhadap pelanggaran yang terang-terangan, maka lembaga ini patut dipertanyakan.
Apakah Bawaslu sudah tidak independen? Atau justru sudah menjadi bagian dari permainan kekuasaan itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini sah untuk diajukan, karena publik berhak tahu: apakah demokrasi kita masih memiliki pengawas, atau justru telah disandera oleh sistem yang korup?
Demokrasi di Titik Nadir
Politik uang adalah musuh terbesar demokrasi. Ia membunuh integritas proses, membajak suara rakyat, dan melahirkan pemimpin yang tidak punya tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Ketika politik uang dilegalkan secara de facto karena lemahnya pengawasan, maka demokrasi kita hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin transaksional yang bekerja untuk sponsor, bukan untuk rakyat.
Gorontalo Utara dan Bone Bolango hanyalah contoh kecil dari kerusakan yang lebih luas. Tapi dari contoh ini kita bisa melihat betapa sistem pengawasan kita sudah sedemikian rapuh.
Jika Bawaslu tidak segera membenahi diri, meningkatkan ketegasan, dan menunjukkan integritasnya, maka kepercayaan publik terhadap pemilu akan runtuh total.
Kita tidak bisa terus-menerus diam. Demokrasi harus diselamatkan. Dan menyelamatkan demokrasi berarti juga menuntut pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga pengawas yang dibentuk untuk menjaganya.
Jika Bawaslu tidak bisa menjalankan fungsinya dengan benar, maka reformasi internal harus segera dilakukan. Kalau tidak, lebih baik dibubarkan saja, daripada jadi beban demokrasi yang terus menguras anggaran tanpa hasil.