Bersih atau Tersingkir: Waktu Menjawab Nasib Ketua DPRD Boalemo

Opini – Dugaan korupsi perjalanan dinas (perjadis) di tubuh DPRD Kabupaten Boalemo terus bergulir di Kejaksaan Negeri Boalemo. Kasus ini bukan sekadar soal angka dan kuitansi fiktif, tapi menyentuh langsung integritas lembaga legislatif daerah yang seharusnya menjadi garda pengawasan anggaran.

Jika proses hukum yang berjalan menemukan keterlibatan Ketua DPRD, Eka Putra Noho, maka konsekuensinya jelas: Eka harus legowo untuk menerima proses pergantian antar waktu (PAW). Tidak ada tempat bagi wakil rakyat yang terlibat praktik kotor merampok uang rakyat, apalagi jika ia berada di posisi pimpinan tertinggi legislatif.

Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi soal tanggung jawab etik dan hukum. Posisi Ketua DPRD bukan milik pribadi. Ia adalah mandat rakyat yang melekat pada tanggung jawab moral dan legal yang besar. Jika mandat itu dikhianati, maka wajar jika publik menuntut agar kursi itu diisi oleh sosok lain yang lebih bersih dan layak dipercaya.

Lebih dari itu, institusi DPRD harus segera mengambil sikap. Jangan sampai sikap diam atau bungkam para anggota dewan justru ikut merusak citra lembaga secara menyeluruh. Keterlibatan satu orang saja dalam kasus korupsi bisa menjatuhkan kepercayaan publik terhadap seluruh sistem.

Apakah ini akan menjadi momentum pembersihan di internal DPRD Boalemo? Ataukah justru menjadi titik nadir, ketika para wakil rakyat lebih memilih menyelamatkan koleganya ketimbang membersihkan institusi dari noda korupsi?

Rakyat menunggu. Kejaksaan bekerja. Fakta hukum akan berbicara. Tapi publik juga berhak bertanya:

Beranikah DPRD Boalemo menanggalkan figur bermasalah dan menunjukkan bahwa mereka berpihak pada keadilan, bukan pada kawan?

Jika tidak, maka sejarah akan mencatat: ketika korupsi menyentuh kursi ketua, semua memilih diam, dan keadilan dibiarkan tenggelam bersama perjadis.