Oleh: Fian Hamzah – Aktivis pegiat demokrasi
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, sejak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berlaku, rakyat memilih kepala daerah dan wakilnya secara langsung melalui Pilkada, atau pemilihan kepala daerah dan wakilnya. Untuk pertama kalinya, pemilihan umum diadakan pada bulan Juni 2005. Dalam kurun waktu 21 tahun, Wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke sistem pemilihan oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) disampaikan Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan di forum-forum resmi. Barangkali jika dibaca dari beberapa perdebatan di media sosial, Ada beberapa alasan yang dapat menjadi latar belakang usulan ini, termasuk besarnya biaya penyelenggaraan pemilu, potensi kecurangan, serta resiko tinggi terhadap keselamatan penyelenggara pemilu.
Pertama, Membengkaknya anggaran pemilu. Pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) di seluruh Indonesia yang telah berlangsung sejak 2005 memang membutuhkan anggaran yang sangat besar. Pemilu 2019 misalnya, total anggaran yang dikeluarkan untuk Pilkada dan Pemilu nasional mencapai lebih dari Rp 20 triliun. Anggaran tersebut dibebankan pada APBN dan APBD yang membebani keuangan negara. Bahkan di tahun 2024, anggaran naik tajam menjadi mencapai 71.3 triliun atau naik 57.3% . Jika anggaran tersebut di alokasikan untuk kepentingan rakyat misalnya pembangunan rumah yang digagas oleh kementrian pembangunan kawasan pemukiman (PKP) barangkali bisa menyelesaikan ratusan ribu rumah untuk di bangun atau jika dialokasikan untuk bantuan sosial, maka ada ratusan ribu paket bantuan sosial yang bisa diberikan ke warga negara.
Kedua, Tingginya Risiko Kecurangan: Pemilu yang dilaksanakan secara langsung rentan terhadap praktik-praktik kecurangan, mulai dari politik uang (money politics),manipulasi data pemilih, hingga intimidasi terhadap pemilih. Proses kampanye yang sangat kompetitif sering kali memunculkan konflik dan ketegangan politik, bahkan dalam beberapa kasus, berujung pada kekerasan. Pilkada tahun 2024 saja tercatat ada 280 gugatan yang telah diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Hal itu menggambarkan tingginya angka kecurangan dalam pemilukada yang dilaksanakan.
Ketiga, Keselamatan Penyelenggara Pemilu: Mengutip apa yang dibahasakan Gus Dur “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” dari ucapan gus dur ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa, tidak ada yang lebih penting dari pada kemanusiaan. Pihak penyelenggara pemilu, seperti KPU, Bawaslu, dan aparat keamanan, menghadapi risiko besar dalam menjalankan tugas mereka. Dalam Pemilu 2019, tercatat sejumlah 894 orang petugas penyelenggara pemilumeninggal dunia akibat kelelahan, serangan jantung atau kecelakaan, baik di tingkat TPS maupun di tingkat lebih tinggi, tercatat 5.175 orang mengalami sakit. Sebagian dari mereka adalah petugas yang bekerja dalam situasi yang berisiko tinggi, seperti pengangkutan logistik yang jauh dan akses terbatas ke fasilitas kesehatan. Faktor kelelahan menjadi salah satu penyebab utama dari jatuhnya korban di kalangan penyelenggara. Dengan banyaknya tugas yang harus diselesaikan dalam kurun waktu singkat, banyak petugas yang bekerja berlarut-larut tanpa cukup waktu untuk istirahat, yang akhirnya mempengaruhi kesehatan secara keseluruhan.Terhadap 3 alasan utama diatas, terhadap usulan ini tentu ada kekurangan dan kelebihan yang perlu dikaji lebih mendalam.
Baik – Buruk Sistem Pemilihan oleh DPRD
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD harus dilihat dari dua sisi, baik dan buruk. Jika kita lihat dari kebaikanyaa—terhadap pemilihan kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD, ada penghematan anggaran, Pengurangan Potensi Kecurangan, dan Memperkuat peran DPRD. Pemilihan oleh DPRD cenderung lebih murah karena tidak memerlukan anggaran besar untuk pelaksanaan pemilu langsung yang melibatkan banyak elemen seperti logistik, pengawasan, dan kampanye. Ini akan mengurangi beban anggaran negara dan daerah, serta mengalihkan fokus pada pembangunan daerahdan terhadap potensi kecurangan dapat diminimalisir. Dengan memilih kepala daerah melalui DPRD, potensi kecurangan dalam bentuk politik uang dan manipulasi suara dapat berkurang, karena tidak ada pemilih individu yang bisa dipengaruhi secara langsung melalui pemberian uang atau barang. Prosesnya lebih bersifat politis dan berfokus pada kualitas calon yang ada. Disatu sisi juga, ini dapat memperkuat peran DPRD dalam sistem pemerintahan. Sistem ini juga dapat memperkuat peran DPRD sebagai representasi politik lokal, dengan memberikan mereka tanggung jawab yang lebih besar dalam menentukan pemimpin daerah. Ini bisa menciptakan sinergi antara legislatif dan eksekutif di tingkat daerah.
Sisi buruknya, kita mengalami kemunduran dalam berdemokrasi, peningkatan potensi oligarki, ketegangan sosial yang melibatkan fraksi partai politik dalam DPRD, serta potensi “suap” kepada Anggota DPRD amat besar. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat dianggap sebagai sebuah kemundururan dalam perkembangan demokrasi indinesia, mengingat sistem pemilihan langsung dianggap sebagai bentuk partisipasi rakyat yang lebih demokratis yang tertuang dalam Pasal 22 E Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali” Hal ini bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan, karena rakyat merasa hak politik mereka untuk memilih pemimpin langsung tidak dihargai.Dalam sistem pemilukada yang di pilih oleh DPRD juga dapat meningkatkan potensi oligarki, Pemilihan oleh DPRD dapat membuka peluang bagi kelompok elit politik atau oligarki untuk lebih dominan dalam menentukan kepala daerah, yang pada gilirannya bisa memperburuk praktik politik transaksional dan nepotisme. Pihak yang memiliki kekuatan politik di DPRD dapat mengontrol pemilihan kepala daerah, sementara suara rakyat menjadi kurang berarti. Selain itu, ada Fragmentasi Politik dan Ketegangan Sosial. Sistem ini bisa memperburuk ketegangan politik di tingkat daerah, terutama jika terjadi persaingan yang tajam antar fraksi di DPRD, ketegangan itu tidak dapat dipisahkan dari cara pandang dan kepentingan partai politik masing-masing yang sangat dinamis. Proses politik dalam pemilihan yang lebih terpusat pada kepentingan politis elit bisa meningkatkan fragmentasi sosial dan polarisasi yang berbahaya.
Pilkada Kembali ke DPRD – Merusak Demokrasi yang Telah Dibangun Bertahun-tahun
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu tonggak penting dalam sistem demokrasi Indonesia. Melalui Pilkada langsung yang telah diterapkan sejak tahun 2005, rakyat diberikan hak untuk memilih secara langsung siapa pemimpin daerahnya. Hal ini tentu memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut terlibat dalam proses politik dan tentunya memiliki suara nyata dalam menentukan masa depan daerah. Namun, rencana untuk mengembalikan pelaksanaan Pilkada ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berpotensi merusak pencapaian demokrasi yang telah dibangun selama hampir dua dekade ini. Pilkada langsung memberikan peluang bagi rakyat untuk mengekspresikan kehendaknya dalam memilih pemimpin daerah secara bebas dan terbuka. Pilihan ini mencerminkan kematangan demokrasi, yang tentunya memberi kesempatan bagi setiap warga negara untuk memiliki suara dalam menentukan siapa yang layak memimpin. Jika Pilkada kembali dilaksanakan melalui DPRD, hak rakyat untuk memilih pemimpinnya akan terbatas. Dalam sistem ini, keputusan sepenuhnya berada di tangan anggota DPRD yang mungkin tidak selalu mewakili kepentingan seluruh rakyat, terutama jika mereka terjebak dalam politik lokal yang penuh dengan patronase dan kepentingan partai. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga menimnbulkan kepemimpinan yang tidak responsif. Pilkada langsung memungkinkan pemimpin daerah untuk lebih responsif terhadap kebutuhan rakyatnya. Dengan adanya kontrol langsung dari pemilih, kepala daerah yang terpilih cenderung lebih memperhatikan aspirasi rakyat karena mereka tahu bahwa masa jabatan mereka tergantung pada kepuasan publik. Sebaliknya, dalam sistem yang kembali ke DPRD, kepala daerah lebih cenderung mengutamakan kepentingan partai dan politisi yang ada di DPRD daripada kepentingan rakyat secara umum. Disinilah akan terjadi “main mata” antar eksekutif dan legislatif.
Kembali ke Sistem Otoritarianisme Lokal?
Jika Pilkada dikembalikan ke DPRD, ada potensi bagi beberapa daerah mengalami sentralisasi kekuasaan yang lebih besar di tangan elit politik lokal. Hal ini bisa mengarah pada praktik-praktik otoritarianisme di tingkat lokal, di mana kekuasaan tidak lagi berada di tangan rakyat, tetapi pada segelintir orang yang memegang kendali di DPRD. Ini dapat memicu kecurigaan dan ketidakpuasan yang lebih besar di kalangan masyarakat terhadap elit politik, yang pada akhirnya dapat menggoyahkan stabilitas sosial dan politik. Masyarakat kita telah banyak belajar untuk menghargai hak suara dalam memilih pemimpin yang mereka anggap layak. Mengubah sistem ini dapat menimbulkan rasa ketidakpercayaan terhadap proses politik dan memperburuk apatisme politik. Rakyat mungkin merasa bahwa keputusan mereka tidak lagi memiliki dampak nyata, dan ini dapat merugikan kualitas demokrasi dalam jangka panjang. Mengembalikan Pilkada ke DPRD bukan hanya keputusan teknis, tetapi juga keputusan politik yang sangat berdampak pada kualitas demokrasi Indonesia. Pilkada langsung adalah sebuah kemajuan besar dalam sistem demokrasi. Rakytalah yang memberikan kontrol lebih besar terhadap pemimpinnya. Kembali ke sistem DPRD bisa merusak fondasi demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah, dan meningkatkan potensi korupsi dilingkungan eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu suara rakyat harus dijaga, Pemimpin harus dikontrol.