Sharenews – Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang mencakup pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih pemimpin mereka, tidak hanya dari partai politik tetapi juga dari calon perseorangan. Calon perseorangan adalah wujud nyata dari partisipasi independen warga negara yang memiliki visi untuk membangun daerahnya tanpa dukungan langsung dari partai politik.
Namun, untuk dapat mendaftarkan diri sebagai calon perseorangan dalam Pilkada, terdapat syarat khusus yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah pengumpulan dukungan dari masyarakat. Dukungan ini harus memenuhi jumlah tertentu yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk yang memiliki hak pilih dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di daerah tersebut. Besarnya dukungan yang diperlukan tidaklah seragam, melainkan bervariasi sesuai dengan jumlah penduduk di setiap provinsi, kabupaten, atau kota.
Semakin besar jumlah penduduk di suatu daerah, maka semakin besar pula jumlah dukungan yang harus diperoleh calon perseorangan tersebut. Prosentase dukungan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang. Calon perseorangan yang berhasil mengumpulkan dukungan yang cukup sesuai dengan ketentuan ini dapat maju dan bersaing dalam Pilkada.
Fenomena Pencatutan KTP
Dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota, pencatutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan masalah besar yang dapat mengganggu integritas dan kredibilitas pemilihan umum. Fenomena ini sering kali dilakukan oleh oknum yang ingin meningkatkan jumlah dukungan secara tidak etis dan ilegal. Dukungan ilegal menggunakan KTP dalam Pilkada adalah masalah yang serius dan harus ditangani dengan tegas. Melalui penegakan hukum yang ketat, pengawasan yang kuat, dan edukasi kepada masyarakat, kita dapat menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilu. Masyarakat juga harus waspada dan melaporkan setiap indikasi penyalahgunaan data pribadi untuk melindungi hak mereka dan memastikan Pilkada berjalan dengan jujur dan adil.
Fenomena penggunaan KTP tanpa izin pemiliknya oleh bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan dalam proses Pilkada merupakan isu serius yang merugikan masyarakat dan mengancam integritas demokrasi. Tindakan ini terjadi ketika bapaslon berupaya untuk memenuhi syarat dukungan yang diwajibkan, yakni mengumpulkan sejumlah KTP dari warga sebagai bukti dukungan mereka. Namun, dalam beberapa kasus, KTP digunakan tanpa sepengetahuan atau izin dari pemiliknya, sering kali melalui praktik curang atau penyalahgunaan data. Misalnya saja dengan apa yang terjadi di DKI Jakarta saat ini, Dharma Pongrekun – Kun Wardana. Bapaslon ini diduga kuat menggunakan KTP warga jakarta tanpa seizin dari pemiliknya, sehingga mendapat protes dari beberapa pemilik KTP.
Sanksi Hukum
Pencatutan KTP selama proses pemilu atau pilkada termasuk dalam pelanggaran serius di Indonesia dan dapat mengakibatkan konsekuensi hukum. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, beberapa sanksi yang bisa dikenakan jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013 dimana dalam Pasal 96 menyebutkan bahwa; “Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan blangko Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f dan huruf g dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang tertuang dalam pasal 67 ayat 1 “Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data Pribadi yang bukan mililoeya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”. Lalu, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang, tertuang dalam pasal 185A “setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp. 36.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”
Penerapan sanksi hukum yang tegas ini bertujuan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan mencegah terulangnya tindakan serupa di masa depan. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap tindakan yang melanggar hukum memiliki konsekuensi yang serius. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk menjaga dan menghormati data pribadi orang lain, serta mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
Kepatuhan terhadap hukum tidak hanya melindungi diri kita sendiri, tetapi juga menjaga keadilan dan integritas dalam masyarakat. Dengan menghormati hak-hak orang lain dan tidak terlibat dalam praktik-praktik yang melanggar hukum, kita turut berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan demokratis.
Dampak pencatutan KTP terhadap demokrasi
Pencatutan KTP tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama, hal ini merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu, yang seharusnya jujur dan adil. Jika masyarakat merasa hak mereka dilanggar, mereka bisa kehilangan kepercayaan pada sistem demokrasi dan pemerintahan. Kedua, pencatutan KTP bisa menjadi pemicu konflik sosial, terutama jika dilakukan secara masif dan terorganisir, yang dapat mempengaruhi stabilitas politik di daerah tersebut.
Pencegahan dan penanganan kasus pencatutan KTP memerlukan kerjasama antara berbagai pihak, termasuk KPU, Bawaslu, pemerintah, serta masyarakat itu sendiri. Edukasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka dan pentingnya menjaga kerahasiaan data pribadi harus terus ditingkatkan. Selain itu, pengawasan terhadap penggunaan data kependudukan oleh lembaga-lembaga yang berwenang juga perlu diperketat. Pencatutan KTP dalam pencalonan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota adalah pelanggaran serius yang dapat mengancam integritas demokrasi. Dengan sanksi hukum yang tegas dan kesadaran masyarakat yang tinggi, praktik ini bisa diminimalisir. Penting bagi semua pihak untuk berperan aktif dalam menjaga proses pemilihan yang jujur, adil, dan transparan demi masa depan demokrasi yang lebih baik.
Bagaimana nasib calon perseorangan/independen dalam Pilkada?
Jika seorang calon perseorangan/independen dalam Pilkada terbukti menggunakan KTP secara ilegal tanpa sepengetahuan atau izin dari pemiliknya, mereka dapat menghadapi konsekuensi serius yang berdampak langsung pada pencalonan. Berpotensi untuk diskualifikasi. Salah satu syarat utama bagi calon perseorangan/ independen adalah mengumpulkan dukungan minimal dari masyarakat yang dibuktikan dengan KTP. Jika terbukti bahwa KTP yang digunakan diperoleh secara ilegal, dukungan tersebut dianggap tidak sah, dan calon independen bisa gagal memenuhi syarat minimum dukungan. Ini dapat menyebabkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendiskualifikasi calon tersebut dari kontestasi Pilkada.
Pilkada melalui jalur perseorangan adalah wujud nyata dari demokrasi yang inklusif, di mana setiap individu yang memiliki visi dan komitmen untuk memajukan daerahnya dapat turut serta dalam kontestasi politik, tanpa harus terikat oleh partai politik. Jalur ini memberikan ruang bagi calon-calon independen yang didukung oleh masyarakat luas, untuk menawarkan solusi yang segar dan inovatif bagi tantangan-tantangan yang dihadapi oleh daerah. Namun, dengan kebebasan ini juga datang tanggung jawab besar. Calon perseorangan harus memastikan bahwa mereka menjalankan proses pencalonan dengan integritas dan kejujuran, menghormati setiap aturan yang ada, serta benar-benar mewakili aspirasi masyarakat. Penyalahgunaan data seperti pencatutan KTP atau praktik curang lainnya tidak hanya akan merugikan calon itu sendiri, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Oleh karena itu, penting bagi calon independen untuk membangun dukungan yang tulus dan transparan, berkomitmen pada prinsip-prinsip keadilan, serta berupaya untuk mewujudkan Pilkada yang sehat, adil, dan baik. Dengan demikian, jalur perseorangan dapat menjadi alternatif yang kuat dan kredibel dalam menciptakan kepemimpinan daerah yang berintegritas dan berorientasi pada kemajuan masyarakat. Mari kita jaga proses demokrasi ini dengan sebaik-baiknya.
Penulis: Fian Hamzah – Founder Ruang Anak Muda Connection, Mahasiswa Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Trisakti.