“Tidak Ada Cirita, Torang Beken Bae, Gulung!”: Bahasa Baru Kekuasaan Wali Kota Gorontalo

GORONTALO — Tiga kata pendek yang kini viral—“Tidak ada cirita,” “Torang beken bae,” dan “Gulung!”—telah menjadi ikon gaya kepemimpinan baru Wali Kota Gorontalo. Bahasa yang terdengar santai, bahkan terkesan jalanan, justru menjadi cara paling efektif untuk menyampaikan pesan tegas: tidak ada kompromi terhadap pelanggaran, dan kota ini harus berubah.

Menurut Fian Hamzah, founder Ruang Anak Muda, ungkapan-ungkapan itu tidak lahir begitu saja. Mereka muncul dari dorongan untuk menciptakan ketertiban dan moralitas publik, sekaligus membangun rasa kebersamaan warga dalam menjaga wajah kota.

“Kalimat ‘tidak ada cirita’ itu sebenarnya penolakan terhadap dalih dan alasan. Itu seperti garis batas yang ditarik jelas. Tidak ada lagi ruang abu-abu antara yang benar dan salah,” ujar Fian saat ditemui, Selasa (29/7).

 

Dalam budaya tutur masyarakat Gorontalo, “cirita” dikenal sebagai bentuk alasan yang menghindari tanggung jawab. Maka ketika wali kota menyatakan “tidak ada cirita”, itu berarti: aturan ditegakkan tanpa negosiasi, dan pelanggaran tidak akan ditoleransi. Ini adalah bentuk pemulihan otoritas moral melalui bahasa yang akrab di telinga rakyat.

Frasa “Torang Beken Bae”, menurut Fian, membawa semangat kolektif. Kata “torang”—yang berarti “kita semua”—menegaskan bahwa perubahan kota bukan hanya tugas wali kota, tetapi tanggung jawab bersama.

“Ini bukan sekadar ajakan. Ini cara membangkitkan semangat publik, untuk percaya bahwa kita bisa jadi lebih baik, kalau sama-sama jaga,” jelasnya.

 

Namun, frasa paling keras adalah “Gulung”. Kata itu bukan sekadar perintah, tapi juga simbol tindakan final. Dalam konteks razia atau penindakan di lapangan, “gulung” adalah sinyal: langsung tindak, langsung bersih.

“Gulung itu seperti pesan bahwa yang melanggar tidak punya tempat lagi. Tapi justru di situ juga letak bahayanya. Kalau tidak diawasi, itu bisa jadi alat kekuasaan yang menyingkirkan orang secara sewenang-wenang,” ungkap Fian.

 

Meski kuat secara simbolik, Fian menilai bahwa kekuatan sesungguhnya dari tiga frasa ini akan teruji bukan di media sosial atau ruang pidato, melainkan dalam kebijakan publik yang nyata.

“Kita tunggu bagaimana ‘tidak ada cirita’, ‘torang beken bae’, dan ‘gulung’ bisa diterjemahkan ke dalam dokumen perencanaan formal—seperti RPJMD, RKPD, RENSTRA, hingga APBD,” ujarnya. “Tanpa masuk ke dalam dokumen resmi, frasa-frasa ini hanya akan jadi slogan viral yang cepat basi.”

 

Bagi Fian, bahasa adalah langkah awal, tapi perencanaan dan anggaran adalah medan sebenarnya. Simbol tanpa strategi hanya akan memicu euforia sesaat. Tapi jika ketiganya menjadi arah kebijakan kota, maka barulah Gorontalo punya alasan untuk percaya: ini bukan sekadar gaya bicara, tapi peta jalan menuju perubahan.

Kini, tiga kata itu telah menjadi semacam mantra baru di Kota Gorontalo. Di balik kesederhanaannya, ada kuasa yang bekerja. Pertanyaannya, apakah kuasa itu akan benar-benar membersihkan kota? Atau justru menciptakan ketakutan yang baru?