Ormawa FH UNG Mengawal Proses Pemungutan Suara Ulang di Gorontalo Utara Melalui Diskusi Publik

Artikel229 Dilihat

Sharenews – Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulangterhadap pemilihan Bupati-Wakil Bupati Gorontalo Utara ditindaklanjuti oleh ormawa FH UNG melalui kegiatan yang menunjukkan adanya peran perguruan tinggi dalam mengawalDemokrasi di Gorontalo. Kegiatan ini diinisiasi oleh KelompokStudi Mandiri Forum Debat Hukum dan Konstitusi merahMaroon (Fordehkonsmero) dan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Justitia FH-UNG dengan mengundang berbagaipihak sebagai narasumber, mulai dari penyelenggara pemilu, akademisi, hingga pihak pemerintah daerah KabupatenGorontalo Utara.

Dalam pembukaannya, diskusi online yang dipandu olehSupriyadi Arief Sebagai Moderator ini menyoroti putusan MK tentang sengketa Pilkada menimbulkan diskursus di masyarakat, khususnya dalam Pilkada Gorut yang berkaitan dengan status terpidana dalam pencalonan kepala daerah. Perbedaaninterpretasi mengenai pidana percobaan dan pidana penjaramenjadi titik krusial yang perlu dikaji lebih dalam. Apakahpidana percobaan harus disamakan dengan pidana penjara dalamkonteks pencalonan kepala daerah? Atau justru harusdiperlakukan secara berbeda? Inilah pertanyaan yang menjadipusat perdebatan dalam diskusi kali ini.

Noval Katili SH sebagai salah satu Komisioner KPU Gorontalo Utara yang juga sebagai narasumber menjelaskan bahwa pihakKPU telah melakukan berbagai tahapan, termasuk dalammelakukan klarifikasi terhadap seluruh berkas yang setiap calon, termasuk adanya rekam jejak hukum dari setiap calon. Namundemikian, pihaknya tidak menutup ruang terhadap upayaadjudikasi yang dilakukan oleh Calon tertentu melalui Bawaslu. Sehingga dengan hal tersebut, maka KPU mempunyai kewajibandalam melaksanakan Putusan Bawaslu tersebut. Lebih lanjutdijelaskan bahwa KPU Gorontalo Utara akan taat terhadapperintah Putusan MK yang memerintahkan Pemungutan SuaraUlang di seluruh wilayah Gorontalo Utara.

Menyikapi persoalan terpidana yang turut serta dalam Pilkada, menurut Dr. Apriyanto Nusa terdapat ketidakjelasan normahukum yang mengatur pencalonan terpidana. Direktur Pusatkajian Hukum Pidana  provinsi Gorontalo menyoroti bagaimanaMahkamah Konstitusi sering menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan status terpidana. Dalam beberapakasus, putusan MK menetapkan bahwa pidana percobaan tetapdianggap sebagai bentuk pidana yang dapat menggugurkan hakpolitik. Namun, dalam kasus lain, Mahkamah justru memberikanfleksibilitas tertentu terhadap status tersebut.

Ini yang menyebabkan ketidakpastian hukum bagi calon kepala daerahmaupun penyelenggara pemilu. Tanpa adanya kodifikasi dalamUU Pilkada, kita akan terus dihadapkan pada perbedaaninterpretasi yang berpotensi menimbulkan polemik,” jelasnya.

Sejalan dengan penjelasan tersebut, Dr. Salahudin Pakaya, selaku akademisi dari Universitas Muhamadiyah Gorontalo mengkritisi bagaimana pertimbangan hukum yang diambil olehMahkamah Konstitusi dalam PHPU Kada masih bergantungpada asas-asas umum hukum pidana, seperti kepastian hukumdan keadilan. Namun, ia mengingatkan bahwa penerapan asasini sering kali tidak disertai dengan pendekatan yang seragam.

“Yang menjadi perdebatan adalah sejauh mana putusan MK inidapat menjadi acuan tetap bagi penyelenggara pemilu danapakah ada kebutuhan untuk mengharmonisasikan aturan inidalam undang-undang yang lebih teknis,”

Pandangan terhadap inkonsistensi putusan MK ini juga dibedaholeh DR Erman Rahim selaku Akademisi dari Fakultas HukumUniversitas negeri Gorontalo. Akademisi yang memiliki kajiankeilmuan pada Kepemiluan ini menegaskan bahwa tantanganutama dalam PHPU Kada adalah ketidakkonsistenan dalampenerapan hukum terkait status pidana calon kepala daerah. Iamenjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, MahkamahKonstitusi menggunakan pendekatan keadilan substantif tetapitanpa memberikan pedoman hukum yang lebih rigid. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan kerap berbeda antara satu perkaradengan perkara lainnya.

Putusan MK masih menimbulkanperdebatan, terutama terkait dengan sejauh mana pidanapercobaan dapat dikategorikan sebagai hukuman yang membatasi hak politik seseorang untuk maju dalam Pilkada,” ujarnya.

Berbagai poin-poin penting dan solutif dihasilkan dari berbagaimacam pendapat narasumber maupun audensi yang turut aktifdalam jalannya diskusi yang berlangsung lebih dari tiga jam ini. Salah satu hal penting yang disepakati adalah perlunyareformulasi regulasi sangat diperlukan agar putusan MK dapatmemberikan kepastian hukum yang lebih jelas. Tanpa adanyanorma hukum yang lebih tegas, penyelenggara pemilu akanterus dihadapkan pada dilema interpretasi hukum yang berpotensi mengganggu proses demokrasi.

Pada akhir diskusi, kegiatan yang ditutup langsung olehDr.Suwitno Y.Imran selaku Wakil Dekan III FH-UNG diiharapkan untuk berkelanjutan sehingga mencerminkan peranperguruan tinggi dalam mengawal demokrasi di daerah. Kegiatan yang dihadiri oleh ratusan peserta secara daring inimengharapkan partisipasi aktif dari pihak terkait lainnya, karenadalam diskusi ini pihak Bawaslu dan Bagian Hukum PemdaGorontalo Utara belum sempat hadir membersamai.