Memaafkan, Berat Tapi Bermakna

Tak Berkategori606 Dilihat

Oleh :

Fory Armin Naway

Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Gorontalo

Memaafkan dan menjadi orang pemaaf memang berat. Namun, menjadi pemaaf adalah sumber keutamaan berkah. Disebut demikian, karena manusia tidak luput dari segala kesalahan dan kekhilafan. Siapapun kita, selalau saja diperhadapkan pada dua dimensi yang berbeda, ada orang baik, ada yang kurang baik, ada yang ideal dan ada yang tidak ideal, ada yang diharapkan, namun ada pula yang tidak diharapkan justru muncul dalam hidup kita. Allah SWT sang Penguasa alam semesta saja memiliki sifat Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Maka sebagai orang yang beriman, maka memaafkan sesama manusia merupakan sebuah keniscayaan.

Memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang lain merupakan potret kedalaman iman dan keluasan ilmu seseorang yang dapat membawa pada kebesaran jiwa yang senantiasa berbesar hati menerima segala perlakuan yang tidak baik dari orang lain. Ada ungkapan yang mengatakan, “Darimu adalah milikmu”, maka memaafkan sebenarnya bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri. Pahala, berkah dan rahmat adalah instrumen nilai yang didapatkan oleh seseorang yang memiliki sifat pemaaf.

Dendam kesumat yang berujung pada konflik dan permusuhan, merupakan buah dari krisis “Memaafkan”. Oleh karena itu, keutamaan orang yang beriman sebenarnya bertumpu pada kesabaran dan keikhlasan. Dengan ikhlas dan sabar, maka hati menjadi bersih, pikiran menjadi tenang dan aura positif akan terus memancar menerangi jalan kehidupan yang lebih baik.

Itulah sebabnya dalam perspektif masyarakat Gorontalo, rongga Dada dimana instrumen hati bersemayam di dalamnya, disebut dengan istilah “Duhelo” yang berasal dari padanan kata “Dutuwa Lo’u Mohelo” yang artinya tempat yang ringan. Hal ini mengandung makna, bahwa jika kita sabar dan ikhlas, maka seberat apapun kehidupan ini, sejahat apapun perlakuan orang lain terhadap kita, mendapat hinaan, cacian dan diterpa fitnah yang bertubi-tubi sekalipun, semua itu dapat dilalui dengan “ringan”, enjoy dan berakhir pada kemenangan.

Hal ini relevan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Bahkan maaf-memaafkan merupakan puncak “keparipurnaan” seorang hamba dihadapan Sang Khalik. Hal itu sangat jelas terlihat di setiap bulan suci Ramadhan, dimana seorang muslim akan meraih predikat “kembali kepada fitrah” kembali menjadi suci seperti bayi yang baru lahir setelah “ritual maaf-memaafkan antara sesama saudara, sahabat dan handai taulan telah dilaksanakan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.

Hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa sejatinya, manusia yang ideal keberadaannya melingkupi 3 dimensi hubungan, yakni hubungan vertikal yang disebut dengan Hablun Minallah dan dimensi horisontal yakni hubungan sesama manusia dengan mahluk lainnya di muka bumi ini. Ketaatan kepada Allah SWT tidak terterima dengan baik, apabila hubungan dengan manusia dan mahkluk lainnya tidak terbangun secara ideal.

Memaafkan dan memberi maaf tidak hanya mencerminkan kedalaman iman, tapi juga merupakan puncak akhlak seseorang, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Baginda Nabi Besar Muhamad SAW. Memaafkan dengan berserah diri kepada Allah SWT adalah terminal terakhir bagi seorang muslim untuk bersandar. Jika nilai-nilai ini menjelma dalam diri setiap kita, maka dendam kesumat, permusuhan, konflik dan gesekan-gesekan di tengah masyarakat tidak akan menggejala.

Oleh karena itu dalam kerangka meminimalisir ketersinggungan di tengah interaksi pergaulan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat bahkan dalam berpolitik sekalipun, terdapat ungkapan syair yang layak menjadi renungan, “Jadilah seperti lebah, yang selalu mencari kumbang untuk dihinggapi dan mempersembahan “madu” untuk suplemen kebaikan bagi orang banyak. Jangan seperti lalat yang selalu mencari sampah dan kotoran dan menebarkan sumber penyakit bagi orang banyak”.

Jangan selalu mencari-cari kesalahan orang lain, menghujat, memfitnah dan menebarkan kebencian kepada sesama. Sesungguhnya hal itu adalah mentalitas “lalat” yang menjadi sumber penyakit dan permusuhan yang merenggangkan hubungan sesama manusia. Jika perbuatan burukmu kepada orang lain dibalas dengan kata-kata, itu masih lebih baik, tapi jangan dibalas dengan diam dan doa, maka hidupmu bermasalah. Itulah ungkapan yang sejatinya menjadi bahan renungan bersama.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, termasuk dalam kerangka mengakhiri pesta demokrasi Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak di 3 Kabupaten di Provinsi Gorontalo, terdapat sekelumit nilai yang patut diunggah ke dalam relung jiwa yang paling dalam, bahwa siapapun yang unggul dalam perolehan suara harus diakui dengan jiwa besar dan berbesar hati. Belum mendapatkan kepercayaan dari rakyat dalam proses demokrasi seperti Pilkada, bukanlah hal yang memalukan, bukan aib dan bukan pula sebuah kehinaan, tapi sebuah proses yang mesti terjadi. Justru yang jauh lebih terhormat, adalah kebesaran jiwa mengakui dan menerima keputusan rakyat.

Saling maaf-memaafkan memang terasa berat, tapi bermakna dan menjadi sumber berkah. Keyakinan pada takdir dan iradat Allah SWT adalah sumber kekuatan yang dapat membukakan jalan yang lurus dan penuh makna. Mendendam dan membenci justru menjadi sumber keresahan yang membuat hidup tidak tenang. Kepada para pendukung dan simpatisan masing-masiong calon, kita semua sepakat, Pilkada telah berakhir, rakyat telah memutuskan, maka siapapun yang terpilih adalah pemimpin kita bersama.

Kita segenap rakyat Gorontalo tentu memiliki semangat, tekad dan cita-cita bersama bahwa kepemimpinan yang terlahir dari Pilkada tahun ini, diharapkan mampu memanifestasikan kepemimpinan yang ideal, kepemimpinan yang dapat mengemban dan memikul amanah yang dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan bersama. Kepemimpinan dalam pemerintahan dapat kita pahami sebagai fasilitator dan dinamisator, yakni memfasilitasi masyarakat yang dipimpinnya agar menjadi dinamis. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *